Benarkah
Nabi Ibrahim pernah mencari Tuhan? katanya, itu ada di Quran, surat al-An’am
ayat 75 – 80. Berarti dulu beliau orang kafir?
Jawab:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sebelum kita
membahas tentang ayat itu, terlebih dahulu kita memahami kesyirikan yang
terjadi pada umatnya Nabi Ibrahim.
Keyirikan
yang dilakukan oleh umatnya Ibrahim bentuknya adalah penyembahan terhadap
bintang-bintang dan benda-benda langit.
Syaikhul
Islam mengatakan,
والمشركون
الذين وصفهم الله ورسوله بالشرك أصلهم صنفان: قوم نوح وقوم إبراهيم. فقوم نوح كان
أصل شركهم العكوف على قبور الصالحين، ثم صوروا تماثيلهم، ثم عبدوهم. وقوم إبراهيم
كان أصل شركهم عبادة الكواكب والشمس والقمر
Orang-orang
musyrik yang disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
asalnya dari dua kelompok kaum; kaumnya Nabi Nuh dan kaum Nabi Ibrahim. Kaum
Nuh, asal kesyirikan mereka adalah pemujaan terhaadap kuburan orang-orang
shalih. Lalu mereka buat patung-patung berbentuk wajah orang soleh itu,
kemudian mereka menyembahnya. Sementara kaum Ibrahim, asal kesyirikan mereka
adalah peribadaatan kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan. (at-Tawassul
wa al-Wasilah, 2/22).
Sementara
berhala yang diagungkan umatnya Ibrahim adalah simbol dari benda-benda langit
yang mereka sembah. Mereka membuat berhala-berhala, melambangkan benda-benda
langit itu.
Sebagaimana
orang musyrikin yang mengagungkan orang soleh, mereka membuat patung yang
melambangkan orang shaleh yang mereka sembah.
Kami tidak
tahu, apakah ini ada hubungannya dengan lambang-lambang zodiak yang menjadi
tradisi Babylonia dan Yunani kuno.
Ibrahim
Mencari Tuhan?
Kita
perhatikan firman Allah di surat al-An’am
وَإِذْ قَالَ
إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آَزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آَلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ
وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ( ) وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ ( ) فَلَمَّا جَنَّ
عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا
أُحِبُّ الْآَفِلِينَ ( ) فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي
فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ
الضَّالِّينَ ( ) فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا
أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
Ingatlah
ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, “Pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Aku melihat kamu dan kaummu dalam
kesesatan.”
Demikianlah
Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di
langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin
Ketika malam
telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”,
tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang
tenggelam.”
Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”
Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (QS. al-An’am:
74 – 78)
Ayat ini
dipahami sebagian umat islam bahwa Ibrahim mencari tuhan, sebelum di utus
menjadi Nabi dan Rasul. Kita akan menimbang pemahaman ini, dengan beberapa
pertimbangan,
Pertama, konteks ayat tidak menunjukkan
Ibrahim mencari tuhan. Namun Ibrahim sedang berdebat dengan kaumnya. Karena
itu, ketika membahas ayat ini, sebaiknya kita juga menyebutkan ayat 74, yang
menceritakan permulaan debat antara Ibrahim dengan ayahnya.
Al-Hafidz
Ibnu Katsir menerangkan,
والحق أن
إبراهيم، عليه الصلاة والسلام، كان في هذا المقام مناظرا لقومه، مبينا لهم بطلان
ما كانوا عليه من عبادة الهياكل والأصنام، فبين في المقام الأول مع أبيه خطأهم في
عبادة الأصنام الأرضية
Yang benar,
bahwa Ibrahim ‘alaihis shalatu was salam, pada posisi itu, beliau sedang
berdebat dengan kaumnya. Beliau menjelaskan kebatilan aqidah mereka dan
kesyirikan mereka, berupa penyembahan terhadap haikal dan patung. Allah
menyebutkan di bagian pertama, Ibrahim berdebat dengan ayahnya untuk
menjelaskan kesalahannya menyembah berhala. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/292)
Kedua, bukti lain bahwa Ibrahim sedang
berdebat dengan kaumnya adalah firman Allah di akhir pembahasan,
وَتِلْكَ
حُجَّتُنَا آَتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
Itulah
hujjah yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menjawab kesyirikan kaumnya. (QS.
al-An’am: 83)
Karena
kaumnya menyembah benda-benda langit, maka permisalan yang digunakan Ibrahim
adalah benda langit yang paling nampak, matahari, bulan dan bintang.
Kita sangat
memahami, Ibrahim tahu matahari pasti tenggelam, bulan pasti tenggelam, bintang
pasti hilang. Sejak kecil, beliau tentu sudah tahu itu. Sehingga tidak
mungkin, pengalaman harian semacam ini baru disadari untuk dijadikan momen
mencari tuhan.
Ketiga, pencarian tuhan, tidak mungkin
dilakukan hanya dengan melihat alam. Manusia tidak mampu mengenal siapa
tuhannya, hanya dengan melihat, matahari, bulan, atau bintang. Justru semacam
ini menjadi sumber kesyirikan.
Manusia
mengenal tuhannya karena hidayah dari Allah. Dan ini ditunjukkan dalam salah
satu ayat di atas. Ketika semuanya hilang dan tidak berbekas, Ibrahim berdoa,
قَالَ لَئِنْ
لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
Dia berkata:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang yang sesat.” (QS. al-An’am: 77).
Dari mana
Ibrahim bisa berdoa kepada tuhannya, padahal proses pencarian tuhan itu belum
usai. Ini menunjukkan bahwa Ibrahim ketika menyampaikan perumpamaan itu, beliau
telah mengenal tuhannya.
Keempat, Allah menegaskan bahwa Ibrahim
telah mendapatkan bimbingan dari-Nya untuk mentauhidkan Rabul Alamin. Ibrahim
mengenal Allah karena hidayah dari Allah.
Allah
menegaskan,
وَلَقَدْ
آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ * إِذْ
قَالَ لأبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
“Sesungguhnya
telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan
Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. ( ) (Ingatlah), ketika Ibrahim
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadat kepadanya?” (QS. al-Anbiya: 51 – 52)
Ayat ini
menjadi salah satu alasan al-Hafidz Ibnu Katsir untuk menyanggah keyakinan di
atas,
وكيف يجوز أن
يكون إبراهيم الخليل ناظرا في هذا المقام، وهو الذي قال الله في حقه: { وَلَقَدْ
آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ
Bagaimana
mungkin Ibrahim Khalilullah mencari tuhannya ketika itu, sementara Allah
menegaskan tentang beliau, (yang artinya): “Sesungguhnya telah Kami anugerahkan
kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya…” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/292).
Kelima, bahwa semua manusia ketika
dilahirkan, dia memiliki fitrah mengenal penciptanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
Semua anak
dilahirkan di atas fitrah. (HR. Bukhari 1385 & Muslim 6926)
Tak
terkecuali Ibarhim, beliau juga memiliki fitrah mengenal Allah.
Hadis ini
juga dijadikan dalil al-Hafidz Ibnu Katsir untuk membantah anggapan di atas,
فإذا كان هذا
في حق سائر الخليقة، فكيف يكون إبراهيم الخليل -الذي جعله الله { أُمَّةً قَانِتًا
لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ } ناظرا في هذا المقام ؟!
بل هو أولى الناس بالفطرة السليمة، والسجية المستقيمة بعد رسول الله صلى الله عليه
وسلم بلا شك ولا ريب
Jika semua
makhluk memiliki fitrah, sehingga Ibrahim, yang Allah nyatakan dalam
firman-Nya, (yang artinya) ‘Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang
dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukan termasuk
orang musyrik.’ Bagaimana mungkin Ibrahim yang seperti itu, mencari tuhan? Kita
tidak ragu, beliau adalah manusia yang paling layak untuk mendapatkan fitrah
yang lurus setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu
Katsir, 3/293).
Pemahaman yang Benar
Ayat ini
menceritakan debat antara Ibrahim dengan kaumnya yang mengagungkan benda-benda
langit. Mereka yakini, benda-benda langit itu akan mengantarkan doanya kepada
Allah. Karena mereka adalah para dewa dan malaikat yang dekat dengan Allah.
Kemudian
Ibrahim memisalkan dirinya seperti mereka. Andai beliau berbuat syirik seperti
yang dilakukan kaumnya. Ketika melihat bintang, bulan, atau matahari, dia
disembah, setelah itu, dia menghilang. Apa ada tuhan yang kadang muncul kadang
hilang?
Dengan cara
ini, Ibrahim menang debat. Ketika umatnya bantah, beliau bisa menyanggah.
Allah
berfirman menceritakan akhir debat mereka,
وَحَاجَّهُ
قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللَّهِ وَقَدْ هَدَانِ
“Kaumnya
membantah Ibrahim. Lalu Ibrahim menyanggah, “Apakah kamu hendak membantah
tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.”
(Qs. al-An’am: 80)
Demikian,
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
0 komentar:
Post a Comment